Bagian 1
Anda
Siapa ?
Suha ! Suha !!
“Brisikkk !!! siapa sih
?” Mata aku terbuka lalu berjalan menuju jendela, kemudian ku geser gordeng
yang mengenai pandangku. Terlihat bocah dengan dandanan aneh berdiri didepan
gerbang rumahku.
“Ada apa Is ? brisik
amat dah!”
“Woyy !! Ayo berangkat.
Udah siang nih. Bisa telat kita !!” Terdengar sayut-sayut teriakan dari bawah.
Dengan nyawa belum
sepenuhnya terkumpul pada ragaku, ku inget-inget apa yang terjadi pada Isti. Ia
mengenakan seragam SMP dengan tas yang ku lihat seperti terbuat dari karung tepung
dengan kuncir banyak di rambutnya. Aku ingat, ini haru perdanaku bersekolah di
sekolah baruku.
“Waduhh!!!. Ia sebentar
aku mandi dulu” Aku terkejut ketika jam dinding dikamarku menunjukkan pukul
05.30. Ku tarik handuk yang menggangtung dibalik pintu kamarku dan bergegas lari ke kamar mandi
“Ya ampun, nyantai
bener ya” Ucap Isti dengan muka lusu nan frustasi.
“Bu, Pa, jalan dulu ya”
Aku pamit.
“Hati-hati, Isti sudah
menunggumu diluar sejak tadi. Ini uang sakumu” Restu Ibu dan Bapak sambil
mengulurkan tangan kanannya.
“Ia Bu, Pa.
Assalamualaikum”
“Waalaikumusalam”
Terdengar jawaban serempak.
Dengan rambut dan
pakaian masih acak-acak, aku lari menuju sumber speaker cempreng dibalik gerbang rumah. Beruntung, semua barang
bawaan dan atribut sekolah sudah ku siapkan sejak tadi malam.
“Pagi-pagi udah teriak-teriak,
udah kaya Tarzan aja” Sapaku dengan menepuk punda Isti.
“Lama banget sih
dandanya, besok-besok kalo ngaret gini, gue tinggalin ya” Ancamnya.
“Ia deh, aku minta
maaf. Ayo berangkat, kita udah telat nih.”
Ku tarik tangan Isti. Dari belakang Ia mengimbangiku. Kami berdua melaju
secepat mungkin, dengan tujuan estimasi waktu yang seminim mungkin. Aku fikir,
jika memang telat setidaknya hukuman yang didapatkan tidaklah begitu berat.
“Ahhhhh lama banget sih
nih mobil, kesell” Gumam Isti dengan
wajah merah dengan bibir diruncingkan dan pipi dikembangkannya.
“Kalem aja lah Is,
nanti juga lewat. Lagian kita nunggu mobil yang mana sih ?” Ucapku konyol.
“Kita cari mobil elf
dengan jurusan Losari, kita kan mau kesana. Kamu sih pake acara kesiangan
segala” Ujarnya dengan nada kesal sembari melipatkan kedua tangannya kedepan
perutnya.
“Iaa deh maaf. Eh itu .
. . . . .” Sepontan jari ku menunjuk salah satu angkutan umum. Iya, selagi aku meminta
maaf ke Isti, elf dengan tujuan Losari lewat dengan gagahnya dengan mengabaikan
keberadaan kami.
“swegggggg . . . . .”
“ >-< ” Perlahan
Isti memdekatiku, dan mencekikku. Mampuss.
*****
Waktu
menunjukkan 06.10. Kami langsung lari setelah turun dari mobil yang ditunggangi.
Hari ini hari pertama Masa Orientasi Siswa bagi aku dan Isti. Kami terkejuk
ketika pengumuman penerimaan siswa baru, kami masuk satu sekolah yang sama. Aku
bersyukur masih ada sekolah yang mau nerimaku, ditambah lagi sekolah itu negeri
yang bikin dadake sedikit mengembang apabila
ditanya temen SMP. Mungkin ini karena keberuntungan, atau mungkin sebenarnya rasa
iba tim penyeleksi ketika melihat foto ijazahku yang terkesan lesuh. Lalu Isti
? mungkin sama sepertiku, bahkan dia memiliki nilai dibawahku. Tapi, Isti itu sangat
baik, iya “baik (banget)” setiap ada PR dia yang memberiku makan hingga lembar
jawabanku penuh, walau terkadang tidak tahu dari arah mana jawaban itu datang.
Kami lari, menerobos
gerbas sekolah yang tinggal beberapa sentimeter lagi akan terutup rapat.
“Ka, jangan ditutup
dulu ka, biarkan kami masuk” Ucap Isti dengan sedikit memohon dan mencoba
bersikap manis.
“Kalian terlamabat. Kembali
saja ke rumah. Harusnya kalian cerdas dalam mengatur waktu. Pukul 06.00 saja
terlambat” Balasnya dengan nada ketus.
“Masa balik lagi, kami
dari jauh bang. Lagian kami terlambat gara-gara lama nunggu mobil umum” Ujarku,
padahal ketika abang-abang itu suruh kami kembali dalam hatiku berteriak kegirangan.
“Abang ? eh woy. Kamu
kira aku ini abang tukang bakso yang kebetulan lewat terus di amanahkan untuk
ngejaga gerbang? atau mungkin kamu anggap aku tukang becak? Hah? panggil aku
kakak, panggil semua seniormu kakak, faham? Lagipula, jika memang rumah kamu,
kamu, kalian berdua jauh dari sini, bangun lebih pagi. Kenapa kamu malah
salahkan mobil umum atau pak supir yang terlambat dalam berkendara? Tidak
sekalian kalian salahkan mentari yang bangun terlalu pagi untuk orang-orang
pemalas seperti kalian?” Jelasnya panjang lebar.
Ceramah senior tersebut
membuat aku dan Isti terdiam, sedikit membuatku merenung. Sedangkan Isti, entah
apa yang dia fikirkan dibalik diamnya, apa dia memirkan hal sama dengan yang
aku renungkan atau kesal karena gerbang sekolah barunya terutup akibat waktunya
yang telah aku akibat terlambat bangun.
“Ini peringatan untuk
kalian. Besok jika terlambat, tidak usah ikut MOS. Sekarang, silahkan masuk dan
cepat masuk ke barisan” Senior itu memberkan keputusan dipenghujung pertemuan
sambil mendorong pintu gerbang yag dipegangnya.
Aku tarik tangan Isti
dan lari masuk barisan dari depan. Belum masuk ke dalam barisan, tiba-tiba
seseorang menarik tangan kananku. Tangan itu terasa halus, ya, itu tangan seorang
perempuan. Aku mencoba membalikkan badan lalu ku tarik tangan kiri dengan
tangan Isti digenggaman tangan kiriku dan langkah kami terhenti. Wajahnya
mengenai pandanganku, seragam yang digunakannya membuatku sedikit heran.
“Ada apa kak ?” Tanyaku
dengan mengerutkan kulit dahi.
“Kalian berdua, ikut
saya” Ucapnya yang samar, mungkin lebih cocok dianggap gumaman.
Isti sedikit takut
dengan ajakan perempuan dengan tubuh cukup tinggi namun agak kurus. Untunglah ciri
panitia yang dikenakannya sehingga menurnkan rasa takut Isti.
“Kalian latihan untuk menjadi
peserta simbolis pembukaan kegiatan MOS ini” Jelasnya dengan diikuti arahan
sebagai peserta simbolis.
“Duh malu gue . . .”
Bisik Isti.
“Udah, kalem aja,
lagian ngga ada yang kenal ini, nikmatin aja permainannya”
Entah apa yang terjadi
denganku, hari pertama yang mengesankan. Setiap moment memiliki nilai yang
sangat besar. aku rasa ini akan menjadi kenangan. Saat MOS SMP, aku pernah
terfikirkan bagaimana bisa menjadi peserta simbolis MOS? Haruskah cerdas?
populer? atau kaya? ternyata salah, pertanyaan itu terjawab dengan
keterlambatan kami. So simple.
Upacara usai, kakak
senior yang sempat membegalku di gerbang sekolah pagi ini naik keatas podium.
“Cek Cek . . . baik
semuanya. Kemas aset kalian, lalu nama yang dipanggil oleh Pembina OSIS kita,
Pak Ilham masuk ke ruang kelas sesuai dengan kelas yang disebutkan, dengarkan
dan tidak bersuara. Silahkankan Pak” katanya sambil menyerahkan mimbar yang
dipijaknya.
“Terimakasih Kalam”
Timbal Pak Ilham.
Terdengar bisik
tetangga, bahwa Kalam adalah Ketua OSIS. Pantas saja begitu mudahnya mengajak orang lain dihari yang
cukup dini.
Ahkirnya, satu demi
satu nama-nama peserta MOS disebutkan dan memasuki ruang kelas yang nyaman.
Satu, dua, tiga kelas telah penuh. Hanya dua kelas tersisa, X-4 dan X-5.
Aku berkata pada Isti
“Wah, kita bakal sekelas kayanya nih, semoga nama kamu atau kamu ngga disebut
masuk kelas X-4. Aku pengen di kelas X-5” dan dian hanya menjawab “Semoga ya”
Terlihat jelas kekesalahan masih menyelibuti dirinya.
“Baik, sekarang untuk
kelas X-5”
“Yess . . . Kita satu
kelas Is, akhirnya aku bakalan mudah dapet contekan” Ucapku dengan mengepal
jari jemariku sebagai rasa syukur. Sedangkan Isti memasang muka sinis dengan
sedikit melirik ke arahku.
“Oke sudah, loh ko
masih ada yang tersisa? sini kalian. Siapa nama kalian?” Tanya Pak Ilham dengan
melambaikan kerah tangan gue dan Isti.
“Muhamad Suhaemi, Pak”
“Isti Putri Wati”
“Kenapa nama kalian
tidak ada? apa jangan-jangan kalian masuk sekolah ini pake jalan tikus? kalian tunggu disini” Tambah pak Ilham.
Dengan wajah polos,
kami menggeleng.
Sesaat suasana
mendingin, aku coba mencairkan “Is, masa ia nama kita ngga ada? Benerkan kita
masuk sekolah ini? kalo kita ngga sekolah disini pembukaan MOS nya ngga sah
lah, kita kan simbolnya, apalagi . . . .”
“He sini” Kata Isti
memotong ocehanku.
“Sakit hah? sakit? gue
sial mulu disamping kamu” Sesuatu terjadi pada leherku, Isti rupanya coba buat
ngebunuh aku. Cekikkan andalannya berlabuh untuk kedua kalinya pada hari yang
sama. Untung saja ini tak lama. Yah, untung, bagaimanapun juga bahkan hampir
mati dibuatnya.
“Baiklah, nama kalian
terselip. Jadi bapak rasa untuk kamu yang laki-laki masuk kelas X-4 dan
perempuan masuk X-5” Suara pak Ilham memecahkan keheningan.
Akhirnya, kami dapat
berlindung dari sinar ultraviolet dan bergabung dengan peserta yang lainnya. Setidaknya
berteduh.
“Perkenalkan, saya Muhamad
Suhaemi, biasa dipanggil Suha. Saya lulusan SMPN 1 Pangenan, anak pertama dari
dua bersaudara, mohon bantuannya” ku perkenalkan diriku didepan kelas.
“Silahkan duduk” Balas senior
penangung jawab kelas.
Aku Muhamad Suhaemi, seingatku,
sejak aku kecil orang tuaku memanggilku Ami, tapi aku kurang suka dengan nama
panggilan itu, aku tidak ingin dipanggil nama itu. Terlebih ketika aku bertanya
akan arti nama “Ami” orang tuaku hanya menjawab “tidak tahu”. Bahkan istri
seorang Kyai pernah menyarankan nama “Suha” untuk panggilanku, menurutku itu
terdengar lebih bagus. Sehingga di sekolah baruku ini, aku perkenalkan diri dengan
panggilan suha, remaja dengan usia 15 tahun. Aku masuk sekolah ini karena tak
masuk sekolah favorite entah apa penyebabnya. Temanku, Soedar pernah berdoa agar
aku tidak masuk sekolah favorite tersebut dan masuk sekolah pilihan kedua agar bisa
masuk bersamanya. Rasa pesimisnya karena nilai yang lebih kecil dari aku
membuatnya demikian. Rupanya doa dia terkabul, ketika pengumuman penerimaan aku
tidak masuk sekolah favorite dan diterima pada pilihan kedua. Sedangkan Soedar,
tidak masuk kedua sekolah yang dibidiknya.
Aku anak pertama,
adikku bernama Wonka dengan usia 10 tahun lebih muda dariku. Rentang usia yang
besar membuatku terbiasa hidup sendiri dengan rasa nyama dan terbiasa dengan
kenikmatan. Menjadi seorang kakak cukup berat, terlebih menjadi anak pertama.
Ia seolah-olah membuka jalan hidup untuk adiknya. Walau demikian, aku menyukai
adikku, terlebih seorang laki-laki, sepertiku. Keberadaannya membuatku bersemangat.
Aku keturunan jawa
asli, meskipun jawa barat. Kota kecil denga sebutan kota udamg, disitu aku
dilahirkan. Bahkan, jauh sebelum merdeka, uyutku dulu asli penduduk lokal di Desa
kami. Hari kelahiranku selasa, menurut primbon jawa artinya api, membara
bergejolak dan panas. Tapi aku rasa tidaklah cocok denganku yang memiliki
kepribadian yang pendiam dan kalem, bahkan irit dalam hal berbicara. Kepribadan
tersebut bagi sebaguan besar orang sungguh membosankan, sampai-sampai sedikit
sekali teman-temanku berbincang denganku. Namun lain halnya dengan Isti, dia pribadi
yang periang. Pengetahuan dalam lingkungan membuatnya mudah dalam membuka
percakapan. Pribadi ini mampu membuat banyak oarang disekelilingnya dekat
dengannya termasuk aku, akan tetapi ketika moodnya buruk, kekesalan akan
enghampirinnya sepanjang hari dan dia memilih untuk mengurug dirinya. Sifat ini
lah yang mendekatkanya padaku.
Isti merupakan
sahabatku. Kami bersahabat sejak Sakolah Dasar dahulu. Kami sangat dekat, bersepeda
ketika berangkat dan pulang sekolah setiap hari kami lakukan. Bahakan suatu
hari kami pernah jatuh dari sepeda yang dikayuh olehku akibat rantai sepeda
kami copot. Alhasil Isti yang diboncengku terhempas jatuh ke saluran air. Aku masih ingat ketika Kakaknya, menitipkannya
padaku. Jarak yang tak jauh antara rumahnya dan rumahku membuat kami sangat
dekat.
*****