MenuBar

Pages

Tuesday 4 July 2017

Bagian 1 
Anda Siapa ?

Suha ! Suha !!

“Brisikkk !!! siapa sih ?” Mata aku terbuka lalu berjalan menuju jendela, kemudian ku geser gordeng yang mengenai pandangku. Terlihat bocah dengan dandanan aneh berdiri didepan gerbang rumahku.  

“Ada apa Is ? brisik amat dah!”
“Woyy !! Ayo berangkat. Udah siang nih. Bisa telat kita !!” Terdengar sayut-sayut teriakan  dari bawah.

Dengan nyawa belum sepenuhnya terkumpul pada ragaku, ku inget-inget apa yang terjadi pada Isti. Ia mengenakan seragam SMP dengan tas yang ku lihat seperti terbuat dari karung tepung dengan kuncir banyak di rambutnya. Aku ingat, ini haru perdanaku bersekolah di sekolah baruku.

“Waduhh!!!. Ia sebentar aku mandi dulu” Aku terkejut ketika jam dinding dikamarku menunjukkan pukul 05.30. Ku tarik handuk yang menggangtung dibalik pintu kamarku  dan bergegas lari ke kamar mandi

“Ya ampun, nyantai bener ya” Ucap Isti dengan muka lusu nan frustasi.
“Bu, Pa, jalan dulu ya” Aku pamit.
“Hati-hati, Isti sudah menunggumu diluar sejak tadi. Ini uang sakumu” Restu Ibu dan Bapak sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Ia Bu, Pa. Assalamualaikum”
“Waalaikumusalam” Terdengar jawaban serempak.

Dengan rambut dan pakaian masih acak-acak, aku lari menuju sumber speaker cempreng dibalik gerbang rumah. Beruntung, semua barang bawaan dan atribut sekolah sudah ku siapkan sejak tadi malam.

“Pagi-pagi udah teriak-teriak, udah kaya Tarzan aja” Sapaku dengan menepuk punda Isti.
“Lama banget sih dandanya, besok-besok kalo ngaret gini, gue tinggalin ya” Ancamnya.
“Ia deh, aku minta maaf. Ayo berangkat, kita udah telat nih.”  Ku tarik tangan Isti. Dari belakang Ia mengimbangiku. Kami berdua melaju secepat mungkin, dengan tujuan estimasi waktu yang seminim mungkin. Aku fikir, jika memang telat setidaknya hukuman yang didapatkan tidaklah begitu berat.

“Ahhhhh lama banget sih nih mobil, kesell” Gumam Isti dengan wajah merah dengan bibir diruncingkan dan pipi dikembangkannya.
“Kalem aja lah Is, nanti juga lewat. Lagian kita nunggu mobil yang mana sih ?” Ucapku konyol.
“Kita cari mobil elf dengan jurusan Losari, kita kan mau kesana. Kamu sih pake acara kesiangan segala” Ujarnya dengan nada kesal sembari melipatkan kedua tangannya kedepan perutnya.
“Iaa deh maaf. Eh itu . . . . . .” Sepontan jari ku menunjuk salah satu angkutan umum. Iya, selagi aku meminta maaf ke Isti, elf dengan tujuan Losari lewat dengan gagahnya dengan mengabaikan keberadaan kami.
“swegggggg . . . . .”
“ >-< ” Perlahan Isti memdekatiku, dan mencekikku. Mampuss.

*****

Waktu menunjukkan 06.10. Kami langsung lari setelah turun dari mobil yang ditunggangi. Hari ini hari pertama Masa Orientasi Siswa bagi aku dan Isti. Kami terkejuk ketika pengumuman penerimaan siswa baru, kami masuk satu sekolah yang sama. Aku bersyukur masih ada sekolah yang mau nerimaku, ditambah lagi sekolah itu negeri  yang bikin dadake sedikit mengembang apabila ditanya temen SMP. Mungkin ini karena keberuntungan, atau mungkin sebenarnya rasa iba tim penyeleksi ketika melihat foto ijazahku yang terkesan lesuh. Lalu Isti ? mungkin sama sepertiku, bahkan dia memiliki nilai dibawahku. Tapi, Isti itu sangat baik, iya “baik (banget)” setiap ada PR dia yang memberiku makan hingga lembar jawabanku penuh, walau terkadang tidak tahu dari arah mana jawaban itu datang.

Kami lari, menerobos gerbas sekolah yang tinggal beberapa sentimeter lagi akan terutup rapat.

“Ka, jangan ditutup dulu ka, biarkan kami masuk” Ucap Isti dengan sedikit memohon dan mencoba bersikap manis.

“Kalian terlamabat. Kembali saja ke rumah. Harusnya kalian cerdas dalam mengatur waktu. Pukul 06.00 saja terlambat” Balasnya dengan nada ketus.

“Masa balik lagi, kami dari jauh bang. Lagian kami terlambat gara-gara lama nunggu mobil umum” Ujarku, padahal ketika abang-abang itu suruh kami kembali dalam hatiku berteriak kegirangan.

“Abang ? eh woy. Kamu kira aku ini abang tukang bakso yang kebetulan lewat terus di amanahkan untuk ngejaga gerbang? atau mungkin kamu anggap aku tukang becak? Hah? panggil aku kakak, panggil semua seniormu kakak, faham? Lagipula, jika memang rumah kamu, kamu, kalian berdua jauh dari sini, bangun lebih pagi. Kenapa kamu malah salahkan mobil umum atau pak supir yang terlambat dalam berkendara? Tidak sekalian kalian salahkan mentari yang bangun terlalu pagi untuk orang-orang pemalas seperti kalian?” Jelasnya panjang lebar.
Ceramah senior tersebut membuat aku dan Isti terdiam, sedikit membuatku merenung. Sedangkan Isti, entah apa yang dia fikirkan dibalik diamnya, apa dia memirkan hal sama dengan yang aku renungkan atau kesal karena gerbang sekolah barunya terutup akibat waktunya yang telah aku akibat terlambat bangun.

“Ini peringatan untuk kalian. Besok jika terlambat, tidak usah ikut MOS. Sekarang, silahkan masuk dan cepat masuk ke barisan” Senior itu memberkan keputusan dipenghujung pertemuan sambil mendorong pintu gerbang yag dipegangnya.

Aku tarik tangan Isti dan lari masuk barisan dari depan. Belum masuk ke dalam barisan, tiba-tiba seseorang menarik tangan kananku. Tangan itu terasa halus, ya, itu tangan seorang perempuan. Aku mencoba membalikkan badan lalu ku tarik tangan kiri dengan tangan Isti digenggaman tangan kiriku dan langkah kami terhenti. Wajahnya mengenai pandanganku, seragam yang digunakannya membuatku sedikit heran.

“Ada apa kak ?” Tanyaku dengan mengerutkan kulit dahi.
“Kalian berdua, ikut saya” Ucapnya yang samar, mungkin lebih cocok dianggap gumaman.
Isti sedikit takut dengan ajakan perempuan dengan tubuh cukup tinggi namun agak kurus. Untunglah ciri panitia yang dikenakannya sehingga menurnkan rasa takut Isti.

“Kalian latihan untuk menjadi peserta simbolis pembukaan kegiatan MOS ini” Jelasnya dengan diikuti arahan sebagai peserta simbolis.
“Duh malu gue . . .” Bisik Isti.
“Udah, kalem aja, lagian ngga ada yang kenal ini, nikmatin aja permainannya”

Entah apa yang terjadi denganku, hari pertama yang mengesankan. Setiap moment memiliki nilai yang sangat besar. aku rasa ini akan menjadi kenangan. Saat MOS SMP, aku pernah terfikirkan bagaimana bisa menjadi peserta simbolis MOS? Haruskah cerdas? populer? atau kaya? ternyata salah, pertanyaan itu terjawab dengan keterlambatan kami. So simple.
Upacara usai, kakak senior yang sempat membegalku di gerbang sekolah pagi ini naik keatas podium.

“Cek Cek . . . baik semuanya. Kemas aset kalian, lalu nama yang dipanggil oleh Pembina OSIS kita, Pak Ilham masuk ke ruang kelas sesuai dengan kelas yang disebutkan, dengarkan dan tidak bersuara. Silahkankan Pak” katanya sambil menyerahkan mimbar yang dipijaknya.

“Terimakasih Kalam” Timbal Pak Ilham.
Terdengar bisik tetangga, bahwa Kalam adalah Ketua OSIS. Pantas saja begitu  mudahnya mengajak orang lain dihari yang cukup dini.

Ahkirnya, satu demi satu nama-nama peserta MOS disebutkan dan memasuki ruang kelas yang nyaman. Satu, dua, tiga kelas telah penuh. Hanya dua kelas tersisa, X-4 dan X-5.
Aku berkata pada Isti “Wah, kita bakal sekelas kayanya nih, semoga nama kamu atau kamu ngga disebut masuk kelas X-4. Aku pengen di kelas X-5” dan dian hanya menjawab “Semoga ya” Terlihat jelas kekesalahan masih menyelibuti dirinya.

“Baik, sekarang untuk kelas X-5”
“Yess . . . Kita satu kelas Is, akhirnya aku bakalan mudah dapet contekan” Ucapku dengan mengepal jari jemariku sebagai rasa syukur. Sedangkan Isti memasang muka sinis dengan sedikit melirik ke arahku.

“Oke sudah, loh ko masih ada yang tersisa? sini kalian. Siapa nama kalian?” Tanya Pak Ilham dengan melambaikan kerah tangan gue dan Isti.
“Muhamad Suhaemi, Pak”
“Isti Putri Wati”
“Kenapa nama kalian tidak ada? apa jangan-jangan kalian masuk sekolah ini pake jalan tikus? kalian tunggu disini” Tambah pak Ilham.

Dengan wajah polos, kami menggeleng.
Sesaat suasana mendingin, aku coba mencairkan “Is, masa ia nama kita ngga ada? Benerkan kita masuk sekolah ini? kalo kita ngga sekolah disini pembukaan MOS nya ngga sah lah, kita kan simbolnya, apalagi . . . .”
“He sini” Kata Isti memotong ocehanku.
“Sakit hah? sakit? gue sial mulu disamping kamu” Sesuatu terjadi pada leherku, Isti rupanya coba buat ngebunuh aku. Cekikkan andalannya berlabuh untuk kedua kalinya pada hari yang sama. Untung saja ini tak lama. Yah, untung, bagaimanapun juga bahkan hampir mati dibuatnya.

“Baiklah, nama kalian terselip. Jadi bapak rasa untuk kamu yang laki-laki masuk kelas X-4 dan perempuan masuk X-5” Suara pak Ilham memecahkan keheningan.
Akhirnya, kami dapat berlindung dari sinar ultraviolet dan bergabung dengan peserta yang lainnya. Setidaknya berteduh.

“Perkenalkan, saya Muhamad Suhaemi, biasa dipanggil Suha. Saya lulusan SMPN 1 Pangenan, anak pertama dari dua bersaudara, mohon bantuannya” ku perkenalkan diriku didepan kelas.
“Silahkan duduk” Balas senior penangung jawab kelas.

           Aku Muhamad Suhaemi, seingatku, sejak aku kecil orang tuaku memanggilku Ami, tapi aku kurang suka dengan nama panggilan itu, aku tidak ingin dipanggil nama itu. Terlebih ketika aku bertanya akan arti nama “Ami” orang tuaku hanya menjawab “tidak tahu”. Bahkan istri seorang Kyai pernah menyarankan nama “Suha” untuk panggilanku, menurutku itu terdengar lebih bagus. Sehingga di sekolah baruku ini, aku perkenalkan diri dengan panggilan suha, remaja dengan usia 15 tahun. Aku masuk sekolah ini karena tak masuk sekolah favorite entah apa penyebabnya. Temanku, Soedar pernah berdoa agar aku tidak masuk sekolah favorite tersebut dan masuk sekolah pilihan kedua agar bisa masuk bersamanya. Rasa pesimisnya karena nilai yang lebih kecil dari aku membuatnya demikian. Rupanya doa dia terkabul, ketika pengumuman penerimaan aku tidak masuk sekolah favorite dan diterima pada pilihan kedua. Sedangkan Soedar, tidak masuk kedua sekolah yang dibidiknya.

          Aku anak pertama, adikku bernama Wonka dengan usia 10 tahun lebih muda dariku. Rentang usia yang besar membuatku terbiasa hidup sendiri dengan rasa nyama dan terbiasa dengan kenikmatan. Menjadi seorang kakak cukup berat, terlebih menjadi anak pertama. Ia seolah-olah membuka jalan hidup untuk adiknya. Walau demikian, aku menyukai adikku, terlebih seorang laki-laki, sepertiku. Keberadaannya membuatku bersemangat.

          Aku keturunan jawa asli, meskipun jawa barat. Kota kecil denga sebutan kota udamg, disitu aku dilahirkan. Bahkan, jauh sebelum merdeka, uyutku dulu asli penduduk lokal di Desa kami. Hari kelahiranku selasa, menurut primbon jawa artinya api, membara bergejolak dan panas. Tapi aku rasa tidaklah cocok denganku yang memiliki kepribadian yang pendiam dan kalem, bahkan irit dalam hal berbicara. Kepribadan tersebut bagi sebaguan besar orang sungguh membosankan, sampai-sampai sedikit sekali teman-temanku berbincang denganku. Namun lain halnya dengan Isti, dia pribadi yang periang. Pengetahuan dalam lingkungan membuatnya mudah dalam membuka percakapan. Pribadi ini mampu membuat banyak oarang disekelilingnya dekat dengannya termasuk aku, akan tetapi ketika moodnya buruk, kekesalan akan enghampirinnya sepanjang hari dan dia memilih untuk mengurug dirinya. Sifat ini lah yang mendekatkanya padaku.

       Isti merupakan sahabatku. Kami bersahabat sejak Sakolah Dasar dahulu. Kami sangat dekat, bersepeda ketika berangkat dan pulang sekolah setiap hari kami lakukan. Bahakan suatu hari kami pernah jatuh dari sepeda yang dikayuh olehku akibat rantai sepeda kami copot. Alhasil Isti yang diboncengku terhempas jatuh ke saluran air.  Aku masih ingat ketika Kakaknya, menitipkannya padaku. Jarak yang tak jauh antara rumahnya dan rumahku membuat kami sangat dekat.

*****